Senin, 03 Februari 2014

GUNUNG LEMONGAN

Nama Lemongan berasal dari kata “Lamong” bahasa Jawa Kuno menjadi Lamongan,  Lamong berarti gila, meraban, meracau, gila asmara, tergesa-gesa, tipis, tembus pandang, cepat, (ekstrem kan artinya?) menurut kamus bahasa Jawa. Lamong terdiri dari dua suku kata, yaitu “la” dan “among” bahasa Sansekerta (Jawa Kuno) yaitu la = panjang, sulit ; among = memelihara, menguasai, melindungi, membina, mengayomi. Tapi arti sesungguhnya adalah "sulit dikuasai"
Gunung Lemongan adalah sebuah gunung api di Jawa Timur (disekitar kawasan kabupaten lumajang), bagian dari Pegunungan Tengger dan kelompok Pegunungan Iyang-Argopuro. Puncaknya adalah Tarub (1 651 m).
Gunung Lemongan dikelilingi 27 maar yang garis tengahnya berkisar antara 150 dan 700 meter. Beberapa maar mempunyai danau. Gunung Lamongan juga memiliki 60 puncak. Yang saat ini aktif terletak 650 meter di sebelah barat daya puncak Tarub. Danau, di antaranya Ranu PakisRanu Klakah dan Ranu Bedali, terletak di lereng barat dan timur. Maar yang kering terletak terutama di lereng utara. Tidak diketahui letusan maar yang tercatat dalam sejarah.
Gunung Lemongan sempat sangat aktif dari tahun 1799, letusan pertamanya yang tercatat dalam sejarah, sampai akhir abad ke-20.
Sejarah Gunung Lemongan di Desa  Papringan, Kecamatan Klakah, Kabupaten  Lumajang, Jawa Timur, sebagian  terekam di Paseban Agung Sunyoruri.  Ini merupakan padepokan spiritualis  Pancasila yang didirikan pada  Agustus 1964 oleh Citro Sridono Sasmito  alias Subiantoro.   Harimau loreng serta macan tutul  dan kumbang terkadang menampakkan  diri di sekitar padepokan,  kata Subiantoro  atau Mbah Citro saat ditemui Tempo,  Jumat pekan lalu. Pria yang sudah  47 tahun tinggal di kaki Gunung Lemongan  ini masih ingat kijang buntung berkaki  tiga.  Murid-murid padepokan sering menyaksikan  rombongan ajak atau anjing  hutan memburu celeng. Setelah celeng  tertangkap, ajak menyantapnya beramairamai.  Hingga 1970-an, padepokan itu  dikelilingi rimbunan pohon tinggi besar  jenis anggrang dan suren. Hutan bambu  juga menjadi ciri khas kawasan itu.  Setelah itu, datanglah periode perambahan  hutan oleh warga dan pemerintah.  Mereka menanam jagung dan pemerintah  menyebar bibit pohon jati. Mulai  1998, penjarahan hutan menjadi-jadi.  Walhasil, profil hutan berubah dan Mbah  Citro tidak pernah melihat lagi satwa  langka di kaki Gunung Lemongan.  Gatot, pegawai Bagian Humas dan  Hukum Agraria KPH Probolinggo, mencatat,  pada 1998-2000, terjadi penjarahan  kayu besar-besaran di wilayah hutan produksi  yang luasnya 2.500 hektare itu.  Hutan yang rusak seluas 400 hektare.  Kerusakan ini menjadi penyebab punahnya  satwa langka di wilayah itu.  


Balai Konservasi Sumber Daya Alam  mencoba melakukan penangkaran satwa  liar yang dilindungi.  Kami memberikan  izin kepada masyarakat serta lembaga  untuk memelihara satwa liar, seperti  kijang dan rusa,  kata Pudjiadi, Kepala  Seksi Konservasi Wilayah VI Probolinggo.  Langkah lain dilakukan warga dengan  penanaman pohon. Hal ini dilakukan Abdullah  al-Kudus, tokoh penggerak Laskar  Hijau atau kelompok pemuda yang peduli  terhadap konservasi dan kelestarian Gunung  Lemongan.  Pembibitan mulai dilakukan  di rumah-rumah warga sekitar,   kata Aak panggilan Abdullah al-Kudus.  Ribuan bibit buah-buahan ditanam di  area seluas kurang-lebih 500 hektare,  tepatnya di petak 12-A, selama tiga tahun  terakhir ini.  Sayang, sejak awal Agustus lalu, terjadi  kebakaran hutan yang memusnahkan  pohon di kawasan seluas 100 hektare  itu. Karena itu, mereka benar-benar  menjaga lahan lainnya.  Dengan kembali hijaunya hutan Gunung  Lemongan, kata Aak, secara otomatis  akan mengembalikan lagi habitat  beragam satwa yang tersimpan dalam riwayat  memori warga setempat. Itu pula  yang menjadi harapan Mbah Citro, yang  menjadi saksi kekhasan satwa di kawasan  Gunung Lemongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar