Nama Lemongan berasal dari kata “Lamong” bahasa Jawa Kuno menjadi Lamongan, Lamong berarti gila, meraban, meracau, gila asmara, tergesa-gesa, tipis, tembus pandang, cepat, (ekstrem kan artinya?) menurut kamus bahasa Jawa. Lamong terdiri dari dua suku kata, yaitu “la” dan “among” bahasa Sansekerta (Jawa Kuno) yaitu la = panjang, sulit ; among = memelihara, menguasai, melindungi, membina, mengayomi. Tapi arti sesungguhnya adalah "sulit dikuasai"
Gunung Lemongan adalah sebuah gunung api di Jawa Timur (disekitar kawasan kabupaten lumajang), bagian dari Pegunungan Tengger dan kelompok Pegunungan Iyang-Argopuro. Puncaknya adalah Tarub (1 651 m).
Gunung Lemongan dikelilingi 27 maar yang garis tengahnya berkisar antara 150 dan 700 meter. Beberapa maar mempunyai danau. Gunung Lamongan juga memiliki 60 puncak. Yang saat ini aktif terletak 650 meter di sebelah barat daya puncak Tarub. Danau, di antaranya Ranu Pakis, Ranu Klakah dan Ranu Bedali, terletak di lereng barat dan timur. Maar yang kering terletak terutama di lereng utara. Tidak diketahui letusan maar yang tercatat dalam sejarah.
Gunung Lemongan sempat sangat aktif dari tahun 1799, letusan pertamanya yang tercatat dalam sejarah, sampai akhir abad ke-20.
Sejarah Gunung Lemongan di Desa Papringan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sebagian terekam di Paseban Agung Sunyoruri. Ini merupakan padepokan spiritualis Pancasila yang didirikan pada Agustus 1964 oleh Citro Sridono Sasmito alias Subiantoro. Harimau loreng serta macan tutul dan kumbang terkadang menampakkan diri di sekitar padepokan, kata Subiantoro atau Mbah Citro saat ditemui Tempo, Jumat pekan lalu. Pria yang sudah 47 tahun tinggal di kaki Gunung Lemongan ini masih ingat kijang buntung berkaki tiga. Murid-murid padepokan sering menyaksikan rombongan ajak atau anjing hutan memburu celeng. Setelah celeng tertangkap, ajak menyantapnya beramairamai. Hingga 1970-an, padepokan itu dikelilingi rimbunan pohon tinggi besar jenis anggrang dan suren. Hutan bambu juga menjadi ciri khas kawasan itu. Setelah itu, datanglah periode perambahan hutan oleh warga dan pemerintah. Mereka menanam jagung dan pemerintah menyebar bibit pohon jati. Mulai 1998, penjarahan hutan menjadi-jadi. Walhasil, profil hutan berubah dan Mbah Citro tidak pernah melihat lagi satwa langka di kaki Gunung Lemongan. Gatot, pegawai Bagian Humas dan Hukum Agraria KPH Probolinggo, mencatat, pada 1998-2000, terjadi penjarahan kayu besar-besaran di wilayah hutan produksi yang luasnya 2.500 hektare itu. Hutan yang rusak seluas 400 hektare. Kerusakan ini menjadi penyebab punahnya satwa langka di wilayah itu.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam mencoba melakukan penangkaran satwa liar yang dilindungi. Kami memberikan izin kepada masyarakat serta lembaga untuk memelihara satwa liar, seperti kijang dan rusa, kata Pudjiadi, Kepala Seksi Konservasi Wilayah VI Probolinggo. Langkah lain dilakukan warga dengan penanaman pohon. Hal ini dilakukan Abdullah al-Kudus, tokoh penggerak Laskar Hijau atau kelompok pemuda yang peduli terhadap konservasi dan kelestarian Gunung Lemongan. Pembibitan mulai dilakukan di rumah-rumah warga sekitar, kata Aak panggilan Abdullah al-Kudus. Ribuan bibit buah-buahan ditanam di area seluas kurang-lebih 500 hektare, tepatnya di petak 12-A, selama tiga tahun terakhir ini. Sayang, sejak awal Agustus lalu, terjadi kebakaran hutan yang memusnahkan pohon di kawasan seluas 100 hektare itu. Karena itu, mereka benar-benar menjaga lahan lainnya. Dengan kembali hijaunya hutan Gunung Lemongan, kata Aak, secara otomatis akan mengembalikan lagi habitat beragam satwa yang tersimpan dalam riwayat memori warga setempat. Itu pula yang menjadi harapan Mbah Citro, yang menjadi saksi kekhasan satwa di kawasan Gunung Lemongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar